Tuesday, October 2, 2018

Memahami Alasan Cristiano Ronaldo Yang Gampang Merajuk


Berita Bola - Ketika Cristiano Ronaldo mengumumkan dirinya tidak akan menghadiri upacara penghargaan FIFA Best, jelas sudah dia takkan memperoleh trofi itu tahun ini.

Sebelumnya dia juga mengambil keputusan serupa dengan melewati malam penghargaan Pemain Terbaik UEFA. Saya berada di Monaco saat itu dan saya bisa melihat para asistennya mondar-mandir sampai akhirnya menjadi jelas bahwa Ronaldo memutuskan tidak datang pada saat-saat terakhir.

Pada dua kejadian itu, Ronaldo sudah merasa risih dengan kenyataan bahwa dia takkan memenangkan gelar yang terbaik. Agen sekaligus teman dekatnya, Jorge Mendes, muncul melancarkan pembelaan.

"Sepakbola dimainkan di atas lapangan dan di situ lah tempat Cristiano memenangkan sesuatu," jelas Mendes kepada Berita Bola.

"Dia mencetak 15 gol, menjadi tumpuan Real Madrid dan menaklukkan kembali Liga Champions."

Hiperbola yang dilontarkan Mendes bukan lah hal yang mengejutkan. Di samping itu, itu lah kenapa dia menjadi agen terbaik di sepakbola. Namun, kalimat berikutnya lebih menarik.

"Sungguh konyol, memalukan," cetusnya. "Pemenangnya tidak perlu diragukan karena Ronaldo adalah yang terbaik di posisinya."

Kelihatannya alasan itu pula yang mendorong Ronaldo untuk memutuskan pergi dari Madrid serta bergabung ke Juventus musim panas lalu.

Di Italia, ada anggapan bahwa kemenangan (serta penghargaan) lebih mudah didapat ketimbang jika Ronaldo bermain untuk Madrid.

Keputusan wasit yang kontroversial masih segar dalam ingatan, terutama di kubu Juventus, yang tersingkir di perempat-final Liga Champions musim lalu akibat penalti injury time yang ironisnya disarangkan oleh Ronaldo.

Dalam wawancara dengan media Italia menyusul pembaharuan buku biografi Ronaldo yang saya tulis, saya berani memberikan pendapat bahwa Juve tidak lah sebesar Madrid saat ini. Dalam artian secara pengaruh atau kekuasaan.

Namun, saya juga mempertanyakan dengan status seperti itu Juve mampu membujuk Ronaldo meninggalkan Madrid untuk datang ke Turin.

Bagi saya, keputusan pindah itu, tanpa adanya peningkatan nilai gaji yang nyata dan hanya ada keuntungan kecil dari sisi pajak, lebih didorong faktor status ketimbang sepakbola.

Artinya, di antara segala hal, kenapa Ronaldo harus bertahan di Madrid, tempat dia dianggap sebagai manusia biasa, jika dia bisa bergabung ke Juventus dan diperlakukan selayaknya seperti dewa?

Uang bukan masalah utama bagi Ronaldo, meski di rimba komersial seperti sepakbola level tertinggi, jumlah gaji yang Anda terima merupakan satu-satunya barometer yang jelas untuk mengukur seberapa tinggi Anda dinilai, dicintai, dihormati, dan dipuja.

Ronaldo pergi meninggalkan Madrid karena pada dasarnya dia merasa rasa cinta kepada dirinya sudah pudar dan para fans mulai melihat dirinya hanya sebagai pemain biasa.

Baru-baru ini saya mengobrol dengan kalangan psikolog untuk memahami pola pikir kompleks yang menentukan keputusan Ronaldo. Perbincangan itu berjalan menarik.

Mereka bilang, sepanjang karier seorang pemain terdapat panduan kompleks antara aspek teknik, taktik, fisik, dan emosi yang saling berinteraksi satu sama lain. Sewaktu-waktu salah satunya bisa mengambil alih peranan penting.

Menjelang akhir karier pemain, ketika elemen fisik mulai memudar, tingkat kecemasan meningkat dan level emosional pun meninggi. Batasan motivasi pun berubah. Semuanya tidak lagi semata-mata hanya masalah sepakbola, tapi lebih utama lagi tentang penampilan serta kehadiran seorang pesepakbola dipersepsi oleh orang lain.

Hal ini secara otomatis muncul ketika seorang pemain baru bergabung ke sebuah klub dan standarnya tinggi. Bagi Ronaldo di Juventus, standarnya melambung tinggi. Pertandingan sepakbola menjadi sangat berarti. Skor pertandingan menjadi tolok ukur utama, apalagi jika dikaitkan dengan penampilan individual.

Sepakbola, serta harapan tinggi terhadap para pemain elite, boleh disalahkan. Sulit menjadi seperti dewa secara terus menerus, tetapi sekarang Ronaldo mendapati dirinya sendiri harus mengerahkan mukjizat setiap kali tampil.

Sebagian besar perilaku "man-boys" yang biasanya diidap pesepakbola memang dihambat pertumbuhannya. Alasannya, sepakbola tidak mendorong kematangan pemikiran dan lebih suka membungkus para pemain di dunia remaja selama mungkin dengan alasan itu membuat mereka lebih mudah dikendalikan oleh para pelatih dan klub.

Dampaknya, kondisi emosional meningkat. Seperti yang terjadi ketika kartu merah kontroversial Ronaldo saat menghadapi Valencia. Akibatnya, menghasilkan tantrum yang histeris, serta berbagai pembelaan dari rekan-rekan sekerja, keluarga, dan jurnalis yang bersimpati.

Keadaan yang berlawanan dengan ekspektasi dianggap sebagai kelemahan, kesalahan. Padahal dewa tidak mungkin melakukan kesalahan, bukan?

Ingat lah kejadian Paul Gascoigne di Italia '90 dan Anda memperoleh skenario yang sama.

Dengan menunggangi pemberitaan yang penuh emosi, Gascoigne berhasil memenangi BBC Personality of the Year. Penyebabnya, gelandang timnas Inggris itu berurai air mata di atas lapangan setelah menyadari kartu kuning yang didapatnya di semi-final Piala Dunia melawan Jerman Barat menyebabkannya takkan bisa tampil di laga final.

Tiga Singa pada akhirnya gagal ke final, tapi air mata Gascoigne menjadi gambar yang paling dikenang seluruh fans sepakbola Inggris. Tidak ada yang menyalahkan sang pemain sendiri akibat melakukan pelanggaran tidak perlu.

Publik merasa bersimpati kepadanya. Ronaldo pun juga memperoleh simpati setelah insiden di Mestalla. Tapi, air matanya seperti bualan belaka, seperti upaya mengalihkan orang-orang dari ulahnya memegang kepala Jeison Murillo.

Keputusan kartu merah Ronaldo bisa diperdebatkan, tapi reaksi yang bermunculan lebih menarik diperhatikan.

Saya mengagumi Cristiano, tetapi saya takkan berhenti mencoba menjelaskan atau berupaya memahami tindak-tanduknya.

Dia punya banyak musuh dan sedikit saja teman dekat. Teman dalam artian bukan mereka yang memujanya, bukan menanyakan pertandingan atau gol-gol yang dia cetak, melainkan keadaan atau perasaannya.

Seperti yang pernah dikatakan dengan sempurna oleh pemain dan pelatih basket Amerika Serikat, John Wooden, "Bakat adalah pemberian Tuhan. Bersikap lah rendah hati. Ketenaran adalah pemberian manusia. Bersyukur lah. Kesombongan datang dari sendiri. Berhati-hati lah."

"Bersikap lah lebih cermat terhadap karakter Anda ketimbang reputasi Anda. Karakter Anda adalah siapa sebenarnya Anda, sedangkan reputasi hanya lah apa yang dipikirkan orang lain tentang Anda."

Cristiano telah banyak memainkan pertandingan, berjuang di banyak pertempuran. Terkadang rasanya sudah terlalu banyak. Bahkan bagi dirinya sendiri. Dia hanya lah manusia biasa.

No comments:

Post a Comment