Wednesday, December 6, 2023
Penyesalan Besar Manchester United: Rekrut Erik Ten Hag & Biarkan Mauricio Pochettino Latih Chelsea
berita bola - Andai 'timing'-nya pas, mungkin Pochettino yang duduk di sudut merah, saat Manchester United menjamu Chelsea besok Kamis (7/12).
"Sepakbola adalah tentang 'timing'. Momen-momen di mana kebetulan terjadi, dan perkawinan itu terjadi. Kadang memang cuma soal waktu. Saya tak percaya pada ungkapan 'kesempatan tidak datang dua kali'. Saya rasa terkadang kita harus memiliki kesabaran yang diperlukan dan harus tahu caranya menunggu. 'Timing' ditangani oleh sepakbola."
Begitulah reaksi Mauricio Pochettino pada November 2022 setelah ia diabaikan Manchester United. The Red Devils menunjuk Erik ten Hag pada April 2022, hanya tiga bulan sebelum Pochettino dipecat Paris Saint-Germain. Waktu itu, mantan bos Tottenham tersebut santer difavoritkan untuk menduduki kursi panas Old Trafford, tetapi Man United lebih memilih Ten Hag karena terkesan dengan proses wawancaranya.
Tiga belas bulan berselang, Pochettino kini mempersiapkan Chelsea asuhannya untuk menghadapi United-nya Ten Hag; dua tim yang sama-sama babak belur dihajar transisi, namun bergerak ke dua arah yang bertolak belakang. Andai 'timing'-nya pas, mungkin Poch yang duduk di sudut merah, dan melihat Ten Hag yang makin hari makin terperosok, insan-insan Old Trafford mungkin akan selamanya menyesali 'timing' tersebut.
Dua pendekatan berbeda
Seiring berjalannya waktu, semakin kentara bahwa kedua manajer ini memiliki gaya man-management yang sangat berbeda, dan sekarang Ten Hag mulai menerima konsekuensi dari gaya yang ia adopsi. Menurut kabar, mantan bos Ajax itu menjadi manajer kesekian yang tak lagi dipercaya oleh ruang ganti Man United. Kemungkinan besar, hal itu disebabkan oleh pendekatan Ten Hag yang, menurut pengakuannya sendiri, bisa "sangat keras".
Memang, tak sedikit pemain Man United yang bangor di eranya, dan ia layak diberi kredit atas ketenangannya menghadapi wawancara bombastis Cristiano Ronaldo. Tapi cara Ten Hag menavigasi situasi Jadon Sancho dan Antony layak dikecam; ia bersikeras mengasingkan nama pertama sampai detik ini gegara ia tak mau meminta maaf atas kritik terbukanya di media sosial, yang mana menimbulkan friksi di skuad MU, sedangkan Antony disambutnya dengan tangan terbuka meski merupakan seorang terduga pelaku KDRT.
Sementara itu, Pochettino dikenal sebagai seorang man-manager andal, ia berusaha mengenal pemain-pemainnya dan memilih melakukan pendekatan secara langsung, agar bisa memberikan apa yang tiap-tiap individu perlukan untuk mencapai kesuksesan. Ia pun selalu mendisiplinkan pemainnya secara privat, jauh dari mata media. Noni Madueke kena marah beberapa waktu lalu karena ketahuan dugem saat masih dalam proses pemulihan cedera, tetapi dramanya tak melebar ke mana-mana.
Ya, setelah Ten Hag resmi ditunjuk, GOAL mengabarkan bahwa Pochettino-lah pelatih pilihan para pemain Man United, dan mungkin sekarang mereka sedang meratapi takdir dan 'timing' saat itu.
Dua kepribadian berbeda
Mengingat begitu banyak kesulitan yang harus ia hadapi dalam masa tugasnya yang relatif masih singkat ini, tidak heran jika Ten Hag dimusuhi sana-sini. Tapi meski musim lalu Ten Hag lumayan sukses – mempersembahkan satu trofi, sempat jadi penantang gelar, dan finis empat besar – sebagian suporter, pemain-pemain tertentu, serta pihak-pihak di luar klub masih belum sudi menerimanya.
Kepribadiannya yang tajam tentu menjadi faktor, dan makin ke sini ia semakin kalah dalam perang pencitraan, yang mana sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari menjadi seorang manajer Manchester United. Berbalas kata-kata tajam di konferensi pers sudah menjadi hal lumrah di masa tugasnya, dan keputusannya untuk memboikot empat media menjelang laga versus Chelsea kemungkinan besar cuma akan semakin menodai citranya.
Tantangan Pochettino di Stamford Bridge adalah merebut hati para suporter yang memandangnya sebagai pahlawan dari salah satu musuh bebuyutan Chelsea, yakni Tottenham. Ia memang belum sepenuhnya berhasil memenangkan hati fans Chelsea, tetapi sikapnya yang hangat dan ramah sangat membantu mengubah persepsi para loyalis The Blues – sikapnya yang konfrontasional serta menolak diinjak-injak wasit juga disambut baik, sekalipun hasil di papan skor masih kerap tak sesuai selera fans.
Tekanan yang dihadapi seorang manajer United memang tidak main-main, tetapi rasanya sulit membayangkan Pochettino tidak lebih baik dari Ten Hag dalam hal mengeruk simpati dari berbagai pihak.
Kesempatan yang terlewat
Melihat situasi sekarang, bursa transfer musim panas kemarin akan dianggap sebagai sebuah kegagalan monumental bagi The Red Devils. Bagaimana tidak? Semua rekrutan mahal yakni Mason Mount, Andre Onana, dan Rasmus Hojlund (yang mana merupakan pemain incaran Ten Hag) gagal memenuhi ekspektasi.
Nasib United bisa sangat berbeda jika Pochettino yang memimpin, apalagi dalam hal mengejar Harry Kane. Bukan rahasia bahwa bomber Inggris itu ingin meninggalkan Tottenham, tetapi Man United mundur teratur gara-gara jiper dengan harga £100 juta yang dipatok Spurs dan malah menghabiskan £72 juta untuk memboyong striker yang minim pengalaman dalam diri Hojlund. Kane pun hijrah ke Bayern Munich, dan kini bergelimang gol bersama The Bavarians.
Menurut kabar, Kane sebenarnya lebih memilih menetap di Inggris, dan kehadiran Pochettino di Old Trafford mungkin sudah cukup untuk mewujudkan transfer ini.
Ten Hag juga tak cuma gagal dalam hal mendatangkan pemain, menjual pun ia tak becus. Pochettino menunjukkan bahwa ia bisa kejam ketika diperlukan dengan membantu The Blues merampingkan skuad habis-habisan, sementara relik-relik era kegagalan masih saja mendiami Old Trafford.
Potensi yang terabaikan
Man United sering terseok-seok musim ini, tapi Ten Hag masih saja ragu untuk mengandalkan pemain akademi. Baru akhir-akhir ini Alejandro Garnacho (19) mendapat tempat di starting XI, sementara Kobbie Mainoo (18) langsung diparkir lagi di laga krusial versus Galatasaray meski memberikan masterclass kontra Everton.
Keduanya terbukti cukup bagus untuk menjadi pemain reguler di dua posisi yang sangat kering untuk United. Rasanya, jika Pochettino yang melatih, maka mereka berdua akan menjadi pemain andalannya. Sejak di Tottenham, manajer asal Argentina itu memiliki reputasi dermawan memberi kesempatan bagi pemain muda, dan ia mendapat ganjaran setimpal dengan memercayai pemain seperti Kane, Dele Alli, bahkan Eric Dier.
Pochettino pernah berkata: "Saya tidak takut memainkan mereka. Jika pemain pantas bermain, tak peduli usianya 17, 18, 19, atau 20, itu tak ada bedanya. Jika mereka pantas bermain dan menunjukkan karakter serta kedewasaan untuk diberi tanggung jawab [maka saya tidak takut memainkan mereka]. Tapi untuk melakukan itu, Anda harus mengembangkan pemainnya."
Memang, tekanan di Man United berbeda, begitu pula di Chelsea, tapi ketika pemain senior yang sudah mendapat banyak kesempatan ternyata tetap mengecewakan, seharusnya ada jalan bagi pemain akademi untuk mendapatkan kesempatan yang sama.
"Attack, attack, attack!"
Begitu bunyi chant yang bergemuruh dari tribun Old Trafford di masa jaya Sir Alex Ferguson, dan itulah yang diinginkan fans Setan Merah dari klub kesayangan mereka: sepakbola menyerang nan menghibur yang membuat mereka bangun dari kursi.
Namun di bawah Ten Hag, Man United malah krisis identitas; mereka tak mampu memainkan sepakbola menyerang yang kohesif dengan pertahanan yang rentan dijebol. Seolah tak ada visi taktik yang jelas. Ten Hag memang layak diberi kredit karena menghadirkan intensitas pada permainan MU, tetapi jika mengingat ia adalah seorang pelatih beraliranTotal Football-nya Belanda dan penggemar sepakbolanya Pep Guardiola, maka kinerja yang ditunjukkan anak asuhnya di Old Trafford sejauh ini sangatlah mengecewakan.
Man United memang masih di masa transisi, tapi sulit rasanya membela Ten Hag jika melihat dampak instan yang diberikan manajer lain di Liga Primer Inggris bagi klub masing-masing. Lihat saja Tottenham racikan Ange Postecoglou, Brighton-nya Roberto De Zerbi, serta kegarangan Aston Villa asuhan Unai Emery.
Awal karier Pochettino di Chelsea sama sekali tak bisa dibilang mulus, tapi setidaknya ada tanda-tanda kemajuan, ada tanda-tanda bahwa ia berhasil menerapkan idenya serta menyulap cara bermain Raheem Sterling cs - meski hasilnya masih acak-acakan. The Blues berubah dari salah satu tim paling mandul di EPL menjadi tim yang haus darah, meski harus diakui bahwa pertahanan mereka jadi lebih keropos.
Yang jelas, fans United pasti kangen dengan sepakbola "menyerang atau mati!" yang demikian di Old Trafford, dan mereka bakal berharap tak menjadi korban keganasan Chelsea-nya Pochettino besok Kamis.
Mampukah Poch bikin MU lebih baik?
Penyesalan selalu datang belakangan, dan bicara retrospeksi memang gampang. Mudah sekali berandai-andai Pochettino akan sukses di Manchester United, tapi hal serupa toh juga digembor-gemborkan sebelum Ten Hag memulai masa baktinya di MU.
Kubu Old Trafford tentu akan sedikit menyesali fakta bahwa bukan Pochettino yang memimpin mereka di era transisi yang berat ini, tetapi awal karier Poch di Chelsea menunjukkan bahwa dia juga bukan seorang pelatih ajaib dengan tangan Midas.
Ten Hag memang punya kekurangan dan kelemahan, dan ia wajib merenungkan kembali man-management, strategi transfer, serta susunan pemainnya, tapi harus dikatakan bahwa kinerjanya selama ini turut dirusak oleh masalah struktural dan sistemik di tubuh Manchester United yang tidak akan kelar setidaknya sampai proses takeover selesai. Sebelum ada perombakan total di hierarki klub, maka – tak peduli siapa pelatihnya, tak peduli siapa pemainnya – kembali ke masa jaya Fergie hanyalah angan-angan belaka.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment