Wednesday, April 15, 2020

Ketika Manchester United 'Membantu' Roman Abramovich Membeli Chelsea

berita bola - Apa yang dilakukan Abramovich di London barat bisa dipandang sebagai salah satu momen penting dalam sejarah sepakbola.

Milyarder Rusia ini bukan fans sepakbola tetapi dia begitu terkesan dengan apa yang terjadi di Old Trafford hingga berinvestasi di London.

Tidak lama setelah John Terry dengan jersey Chelsea, mengangkat trofi Liga Champions di Allianz Arena pada 2012, Didier Drogba mengambil si kuping lebar dan menyerahkannya pada Roman Abramovich yang berdiri di box VIP.

Obsesi Roman Abramovich akhirnya terpenuhi, ketika itu dia mendapat sambutan meriah sama seperti Drogba saat mencetak gol kemenangan dari titik putih.

Tetapi sejatinya momen di atas mungkin tidak akan pernah terjadi andai saja sembilan tahun sebelumnya tidak tercipta malam gemilang di Old Trafford.

Tujuh gol, hat-trick Ronaldo, gagal comeback dan sepakbola menyerang yang disuguhkan oleh Zinedine Zidane, Luis Figo, David Beckham dan Ruud van Nistelrooy. Ya, Manchester United menang 4-3 atas Real Madrid di leg kedua babak perempat-final Liga Champions pada 2003. Anda benar, duel tersebut merupakan salah satu pertarungan terhebat di abad 21.

Momen yang terjadi di atas lapangan dan di setiap sudut stadion berdampak hebat pada satu sosok di tribun elit Old Trafford.

Abramovich bukan sosok yang menggemari sepakbola. Sebelum membeli Chelsea dia tidak mengetahui apapun tentang sepakbola, apalagi soal komersial atau sejenisnya yang terkait. Tetapi pada 22 April dia melihat keindahan sepakbola. Kegembiraan drama tujuh gol sudah cukup untuk meyakinkannya membeli klub sepakbola.

Sebulan kemudian, dia sudah memiliki Chelsea. Abramovich menuntaskan pembelian klub hanya sepuluh hari setelah mengutarakan minat. Negosiasi berjalan mulus dan dua bulan kemudian dia menghabiskan £100 juta membeli bintang.

Dua tahun dan satu pekan setelah Man United menghajar Real Madrid 4-3, Abramovich mengangkat trofi Liga Primer Inggris, mereka memecah duopoly United dan Arsenal yang sudah berlangsung selama sembilan tahun.

Apa yang dilakukan Abramovich di London barat bisa dipandang sebagai salah satu momen penting dalam sejarah sepakbola.

Tanpa memberikan contoh dengan mengubah Chelsea sebagai 'mainan orang kaya', berdasar pada analisis BBC pada 2003 setelah mewawancarai Abramovich, kita semua mungkin tidak akan melihat investasi Sheikh Mansour pada Manchester City atau Qatar membeli Paris Saint-Germain.

Dan semua bermula di duel seru Liga Champions di Manchester. Ketika itu Abramovich menikmati atmosfer, kegembiraan dan langsung jatuh cinta pada sepakbola.

Dari menit awal sampai akhir, pertarungan Manchester United dan Real Madrid memang begitu seru, menegangkan sekaligus menghibur. Gol cepat Ronaldo membuat tuan rumah membutuhkan banyak gol untuk lolos. Ada juga yang bertanya-tanya apakah Abramovich tahu jika hasil leg pertama pertandingan dan gol tandang akan mempengaruhi laga yang sedang bergulir di depan matanya.

Tetapi abaikan saja pertanyaan itu, Abramovich jatuh cinta dan dia langsung mencari bank investasi untuk mendapatkan tim Inggris yang bisa dibeli. Dia menginginkan tim yang bermarkas di London karena terkait dengan bisnis lainnya di kota itu. Abramovich juga diketahui punya rumah di West Sussex.

Setelah menjajaki Tottenham, dia akhirnya memilih Chelsea karena lokasi dan struktur bisnisnya yang sederhana. Tetapi itu bukan akhir dari cerita, karena bagi the Blues ini adalah pintu baru.

Meski demikian, Abramovich mungkin tidak akan merasa nyaman bersama Chelsea andai mereka gagal mengalahkan Liverpool di pekan terakhir musim 2002/03 untuk memastikan diri lolos kualifikasi Liga Champions. Aksi Jesper Gronkjaer menyegel kemenangan 2-1 dalam duel head-to-head demi perinkat keempat. Harus diakui, Abramovich tidak mungkin membeli bintang seperti Claude Makelele, Hernan Crespo dan Juan Sebastian Veron tanpa keinginan melihat tim tampil di kompetisi antarklub paling elit di Eropa.

Perjalanan menuju puncak akan dianggap sebuah peualangan berliku yang mungkin saja membuat Abramovich bosan untuk kemudian mengabaikan proyek di London. Andai saja ketika itu Chelsea gagal, mungkin Abramovich sudah pergi.

Tetapi hat-trick Ronaldo dan gol kemenangan Gronkjaer adalah momen perubahan di sepakbola Inggris, bukan hanya karena kekuatan finansial Abramovich. Keputusan mendatangkan Jose Mourinho adalah momen penting lainnya, sama krusialnya dengan Abramovich itu sendiri.

Mourinho datang ke London tidak lama setelah mengantarkan Porto merajai Liga Champions. Momen ini adalah salah satu momen penting dalam sejarah Liga Primer. Sikap arogan 'The Special One' saat konferensi pers, telah menghadirkan dampak psikologi penting ke semua sudut.

Media Inggris mati kutu menghadapi Mourinho dan kemudian memunculkan pengkultusan status manajer superstar di negara itu.

Mourinho berhasil meraih sukses secara instan. Pembelian Arjen Robben, Ricardo Carvalho dan Drogba pada musim panas tahun itu dan penerapan sepakbola yang terorganisasi rapi merupakan lawan dari Invicibles Arsenal - tim yang kemudian bakal digilas Mourinho.

Chelsea hanya kebobolan 15 gol dan mencatat rekor 95 poin pada musim 2004/05. Bersama gaya Yunani di Euro 2004, proyek Rafael Benitez bersama Liverpool, juru taktik Portugal ini mengambil peran penting pada perubahan sepakbola yang menjadi lebih bertahan di era 2000.

Inggris tergila-gila pada Mourinho dan warisannya dan itu terus berlangsung hingga 2020 meski taktik yang diusungnya sudah banyak diabaikan oleh tim-tim Liga Primer.

Cara orang-orang melihat Chelsea tentu saja sesuai dengan bagaimana Mourinho membentuk tim tersebut. Abramovich pernah mencoba mengubahnya dengan berusaha membuat performa Chelsea lebih menarik tetapi 'parkir bus' yang membuat mereka meraih hadiah terbesar pada 2012.

Memburu trofi Liga Champions sudah menjadi obsesi bagi Abramovich. Liga Champions adalah faktor yang membuatnya begitu kejam dengan memecat sederet pelatih jempolan seperti Luiz Felipe Scolari, Carlo Ancelotti dan Andre Villas-Boas. Ketiga manajer ini menjanjikan gaya sepakbola indah tetapi tidak pernah dipandang oleh bos asal Rusia itu punya kemampuan yang memuaskan.

Ditunjuknya Roberto Di Matteo sebagai manajer sementara tidak pernah ada dalam rencana. Bersama arsitek asal Italia itu Chelsea hanya mencatat 27,5 persen penguasaan bola pada laga semi-final lawan Barca dan harus melewati adu penalti untuk mengalahkan Bayern Munich di sebuah partai final yang menegangkan.

Jelas, ini tidak dalam bayangan Abramovich sebelumnya, tetapi apapun itu dia telah mengangkat trofi bergengsi tersebut. Sebuah perjalanan yang dimulai sembilan tahun sebelumnya di Manchester telah tuntas.

Normalnya, sepakbola terlalu rumit dilihat dari satu variabel saja, atau hanya dari satu momen untuk menegaskan sebuah peristiwa telah mengubah pandangan terhadap sepakbola.

Tetapi pada kasus ini, Abramovich yang sebelumnya tidak pernah menaruh minat terharap sepakbola, berdiri tegak di Old Trafford menikmati pertandingan lalu dia kemudian memutuskan untuk tidak hanya bersedia terlibat dalam sepakbola tetapi menjatuhkan bom yang mengubah industri ini di semua lini.

Dan sikap itu datang dari seesorang yang sama sekali tidak memiliki keterikatan pada sepakbola namun dia begitu berani dan naif untuk menggelontorkan dana raksasa pada sebuah industi yang tidak pasti demi meraih kesuksesan.

Abramovich melakukan nya dan berhasil. Berkat Abramovich sepakbola tidak pernah terlihat seperti dulu lagi.

No comments:

Post a Comment