berita bola - Serie A 2001/02 selalu dikenang sebagai salah satu musim paling kompetitif dan dramatis dalam sejarah sepakbola Italia.
Rivalitas klasik antara Juventus dan Inter Milan selalu menarik, terutama jika melibatkan persaingan memburu supremasi tertinggi sepakbola Italia: Scudetto.
Salah satu cerita paling dramatis menyangkut dua klub pelakon Derby d'Italia ini terjadi hampir dua dekade lampau, tepatnya di Serie A musim 2001/02.
Kisah yang La Gazzetta dello Sport populerkan lewat judul "Drama Scudetto Melayang Il Biscione".
Meski AS Roma merupakan juara bertahan Serie A, bursa taruhan lebih menjagokan Inter untuk jadi kampiun di musim 2001/02. Tak mengejutkan karena meski sudah absen juara selama 13 tahun, I Nerazzurri mempersiapkan timnya dengan begitu baik untuk musim tersebut.
Belajar dari kegagalan finis di tiga besar selama tiga musim sebelumnya, Inter melalui pemilik legendarisnya, Massimo Moratti, melancarkan manuver transfer lewat dana €102,5 juta untuk merevolusi skuatnya. Pertama adalah mendatangkan pelatih yang bawa Valencia ke final Liga Champions dua kali beruntun, Hector Cuper.
Bintang-bintang besar Serie A pada momen itu, Francesco Toldo, Sergio Conceicao, Marco Materazzi, hingga Cristiano Zanetti diboyong. Belum lagi para youngster muda macam Emre Belozoglu, Gonzalo Sorondo, Mohammed Kallon, dan si bocah ajaib Adriano Leite.
Mereka semua dipadukan dengan sederet penggawa lawas bintang lima, layaknya Ivan Cordoba, Clarence Seedorf, Luigi Di Biagio, Alvaro Recoba, Christian Vieri, dan sang Il Fenomeno, Ronaldo Luiz Nazario de Lima. Anda bisa bayangkan seperti apa kekuatan Inter saat itu.
Segalanya berlangsung mulus untuk Inter sejak giornata perdana kala membantai Perugia 4-1 di Giuseppe Meazza. Meski akhirnya gagal jadi Campione d'Inverno, La Beneamata mengakhiri paruh musim di posisi ketiga dengan cuma berselisih satu poin dari Roma di puncak klasemen.
Performa Inter di paruh kedua kompetisi kemudian makin terengginas. Salah satu faktor utama tentu saja kembalinya Ronaldo, yang sebelumnya absen selama setahun lebih. Sang legenda asal Brasil mencetak tujuh gol hanya dari sepuluh giornata yang dimainkannya.
Duetnya dengan Christian "Bobo" Vieri yang dijuluki "Robo" (Ronaldo - Bobo), begitu dinantikan dan begitu mematikan. Apalagi saat itu Vieri mampu tampil tajam dengan torehan 22 gol Serie A. Total keduanya menghasilkan 29 gol, satu statistik menjulang di sepakbola pada era tersebut.
Namun siapa sangka jika kegemilangan Inter mampu disaingi dua kompetitor kuatnya, yakni Juve dan Roma. Sehingga terjatuh sedikit saja, potensi gelar pasukan Cuper jadi makin mengecil.
Benar saja, cuma dua kali menang di empat giornata jelang duel pamungkas Serie A, Inter yang ada di puncak klasemen selama sebilan pekan lamanya jadi hanya berselisih satu poin dengan Juve dan dua poin dengan Roma. Artinya Ronaldo cs bakal kehilangan Scudetto yang sudah di depan mata, jika sampai kalah di giornata terakhir.
Parahnya lawan yang bakal dihadapi adalah Lazio, yang saat itu dianggap sebagai tim elite tak hanya di Italia tapi juga Eropa. Rekor Inter hadapi I Biancocelesti juga buruk, karena tak pernah menang dalam 11 pertemuan terakhirnya di Serie A! Segalanya semakin suram lantaran duel dimainkan tandang, di Olimpico Roma.
Tak ingin kehilangan Scudetto yang terakhir dirasakan 13 tahun silam, Inter sebagai tamu mampu menguasai penuh jalannya pertandingan. Mereka lantas raih keunggulan cepat di menit 12 melalui Vieri, memanfaatkan blunder Angelo Peruzzi.
Sempat disamakan 1-1 oleh tembakan first-time Karel Poborsky di menit 20, Inter kembali unggul 2-1 berkat gol tandukan Di Biagio empat menit berselang. Namun lagi-lagi Poborosky membuat tim tamu ketar-ketir akan kesempatannya amankan Scudetto, ketika gol keduanya akibat blunder Vratislav Gresko di pengujung babak pertama menyetarakan kedudukan jadi 2-2.
Memasuki paruh kedua, Inter kolaps. Serangan bertubi yang mereka lancarkan, tak dibarengi dengan keseimbangan di lini pertahanan. Tak heran bila Lazio berhasil mencuri gol kesemuanya lewat tandukan, dari Diego Simeone dan Simone Inzaghi. Khusus Simeone, dia enggan merayakan gol-nya karena pernah besar bersama Tim Biru Hitam.
Memasuki menit ke-80 pertandingan dengan tertinggal 4-2, para penggawa Inter mulai menangis. Pemandangan paling diingat tentu saja Ronaldo yang menangis tertunduk sembari menutupi mukanya, disertai tetes air mata yang deras.
Mereka tahu gelar Scudetto sudah melayang, karena di tempat lain Juve unggul 2-0 atas Udinese juga Roma yang kangkangi Torino 1-0. Skor tersebut pada akhirnya bertahan hingga laga usai, Juve pun keluar sebagai kampiun, diikuti Roma di pos runner-up, sementara Inter secara ironis terlempar ke peringkat tiga.
"Sungguh sebuah pemandangan ruang ganti yang tak bisa saya lupakan. Sebuah tragedi, ironi, bahwa Scudetto sudah sangat dekat, tapi melayang begitu saja. Semua tim menangis sejadinya di Olimpico, pun ketika kami pulang ke Milan. Memori yang sangat buruk," kisah Vieri di Sky Sport Italia.
La Gazzetta dello Sport menggambarkan drama itu dengan simbol kedua tim, yakni elang untuk Lazio dan ular untuk Inter. Selayaknya rantai makanan, elang merupakan konsumen tingkat tiga yang memangsa ular sebagai konsumen tingkat dua. Elang membuat ular melayang dan dalam kisah ini Tim Elang membuat Scudetto Tim Ular melayang.
No comments:
Post a Comment