Sunday, November 28, 2021

Mauricio Pochettino Ke Manchester United Masuk Akal: Pengaruh Lionel Messi, Neymar, & Kylian Mbappe Terlalu Kuat Di PSG


 berita bola - Klub sokongan Qatar itu sukses menyusun salah satu lini depan paling sangar dalam sejarah, tetapi tak satu pun dari mereka sudi bekerja keras

Mauricio Pochettino terlihat jengkel, tangan di dalam saku dan bersungut-sungut sepanjang kekalahan 2-1 Paris Saint-Germain atas Manchester City, Kamis (25/11) dini hari WIB.

Ini bukan tim Pochettino. Tim ini tidak memiliki satu pun ciri khas filosofi taktiknya, entah teknis maupun psikologis. Tak ada tanda-tanda yang mengisyaratkan bahwa para pemain mendengarkan instruksinya.

Pochettino menuntut kolektivitas dan kerja keras untuk menegakkan sepakbola a la Bielsa yang kental dengan pressing ketat dan garis vertikal

PSG justru sebaliknya: tiga penyerang berjalan-jalan seenaknya di lapangan, tampak tidak tertarik membantu rekan-rekannya. Pengaruh mereka terlalu kuat, dan merongrong Pochettino di Parc des Princes.

Kita semua tahu para megabintang itu punya kuasa; bahwa Kylian Mbappe, Lionel Messi, dan Neymar punya hak istimewa.

Namun ketika Anda menyaksikan trio itu lekat-lekat, tidak hanya ketika kamera menyorot mereka, Anda seolah mendapatkan sudut pandang baru soal situasi di PSG.

Pochettino sudah menyerah menggunakan taktik andalannya, ia pasrah dipaksa memainkan sepakbola serangan balik yang tidak akan pernah ia terima di Tottenham Hotspur atau Espanyol.

Itu adalah langkah pragmatis dan masuk akal untuk menghadapi situasi yang bikin tak habis pikir: menjadi manajer yang didukung penuh oleh dewan, tapi tunduk dengan otoritas pemain.

Di saat Pochettino menuntut pressing tinggi kolektif, PSG harus bekerja keras dan hanya mempertahankan area mereka sendiri.

Di saat ia menuntut pertukaran umpan yang cepat dan jitu melalui lini tengah, Pochettino justru dipaksa menerima umpan lambung ke arah penyerang yang bergerak malas-malasan – memelankan jalannya laga

Strategi PSG di Liga Champions terekam dengan baik lewat statistik pressing mereka – delapan pemain mundur bertahan dan melakukan pekerjaan kotor, sementara trio penyerang cuma berjalan-jalan berusaha menciptakan sesuatu saat serangan balik.

PSG di peringkat kalima di UCL dalam kategori melakukan pressing di area pertahanan sendiri (330) tetapi termasuk tiga terbawah untuk pressing di sepertiga tengah dan akhir (255 dan 114).

Tidak seharusnya perbedaan statistik mereka di kedua sisi lapangan begitu ekstrem. Cuma Malmo dan Sheriff Tiraspol yang sama-sama tidak seimbang.

Semua ini, semua permasalah taktis yang membuat PSG pincang di Liga Champions musim ini, adalah konsekuensi dari kehadiran Messi, Neymar, dan Mbappe.

Kamera televisi harus mengikuti bola, dan ketika PSG bertahan trio MNM itu jarang terekam.

Asumsinya, mereka menyaksikan dengan cermat, bergerak bersama dalam pola tertentu yang dirancang untuk menekan bek lawan sembari menunggu kesempatan menyerang balik.

Sayangnya tidak seperti itu.

Tak berlebihan jika bilang Messi, Neymar, dan Mbappe 90 persen hanya berjalan, atau melihat ke arah yang salah, atau hanya berdiri dengan berkacak pinggang.

Mereka bahkan sering mengisi sisi lapangan yang sama, dalam posisi offside hingga 20 meter, dan tidak menempati ruang bebas untuk menjadi target umpan.

Sepanjang laga di Etihad, dominasi Manchester City tak terpatahkan dengan penampilan tim yang dikoreografikan dengan sempurna, seolah menunjukkan apa yang tidak PSG punya. Sementara penyerang Pochettino tidak becus menjalankan hal-hal mendasar.

Jangkan bertahan (dan tak satu pun dari mereka akan mau menghalau jalur umpan atau mem-pressing bola), melakukan lari yang tepat saja tidak bisa.

 Contoh: Ander Herrera sedang membawa bola di sisi kiri dan bisa melebarkan permainan jika Messi melakukan sprint 10 meter sederhana. Apa yang terjad? Ya tidak ada.

Hal itu terus berulang lagi dan lagi, dengan Messi menjadi yang paling berdosa meski bukan satu-satunya.

Neymar dan Mbappe seolah bermain futsal, selalu mencoba hal muluk-muluk penuh gaya. Ketiga penyerang itu terlihat frustrasi ketika dipaksa melakukan umpan pendek atau ke belakang.

Klub sepakbola modern tak seharusnya beroperasi seperti ini. Ini adalah hikayat soal pengaruh uang, konsekuensi dari kekayaan Qatar Sports Investments yang dibawa ke Paris.

Moral dari hikayat ini, tentunya, adalah bahwa kesadaran taktik dan pengorbanan kolektif masih menjadi pilar sepakbola – dan itu sungguh melegakan, serta menjelaskan rasa schadenfreude terhadap PSG, rasa senang melihat mereka menderita.

Apakah pemilik PSG akan belajar dari kesalahan ini? Kemungkinan besar tidak. Mereka sukses mencapai final dan semi-final di dua Liga Champions terakhir, dan bisa dianggap menjadi tanda kesuksesan atau setidaknya kemajuan, meski situasi yang sebenarnya justru semakin parah.

Terlebih, mereka unggul 11 poin di puncak Ligue 1 dan media sosial saat ini diwarnai dengan foto trisula ikonik itu dalam balutan seragam PSG. Qatar pasti merasa proyek mereka lumayan berhasil.

Tetapi PSG bukan tim yang serius, bahkan tidak menarik. PSG jelas bukan proyek bagi seseorang dengan talenta dan standar seperti Pochettino. Masuk akal jika ia ingin segera kabur ke Manchester United. Setidaknya di Old Trafford ia bisa membentuk dan membangun tim sesuai dengan visinya.

Seperti yang diungkapkan GOAL, PSG tak keberatan mengizinkan Pochettino minggat di akhir musim, dan ini adalah langkah yang tepat bagi kedua pihak, apalagi dengan Zinedine Zidane siap menggantikannya.

Zidane – yang memenangkan tiga trofi Liga Champions berturut-turut bersama Real Madrid dengan mengendalikan ego pemain, bermain sepakbola aman dan memenangkan 'momen' – dianggap jauh lebih cocok.

Tetapi Los Blancos besutan Zidane punya karakter pemenang yang sudah dipoles lewat berbagai pertarungan seperti Sergio Ramos.

 PSG, di sisi lain, dijangkiti oleh megabintang yang ketuaan dan, jika menilai dari kekalahan 2-1 dari Man City, pemalas.

No comments:

Post a Comment